BIOGRAFI SYEKH IMAM AN-NAWAWI
NAMA DAN NASABNYA
(يحيى بن شرف بن مُرِّي بن حسن بن حسين بن محمد بن جمعة بن حِزَام، النووي)
Nama beliau adalah Yahya bin Syarof bin
Murriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizaam
An-Nawawi. Disebutkan dalam sejumlah kitab, bahwa sebagian kakek beliau
mengatakan bahwa garis keturunan mereka sampai kepada salah seorang
sahabat, yaitu Hasyim bin Hizaam radhiallahu ‘anhu. Namun beliau
membantah sendiri hal tersebut, ia berkata “ini adalah suatu
kekeliruan”. Jadi tidak benar bahwa nasab beliau sampai kepada Hasyim
bin Hizaam radhiallahu ‘anhu.
Nama kunyah (baca : kun yah) atau
nama panggilan beliau adalah Abu Zakariya (ayahnya Zakariya). Namun
demikian Zakariya bukanlah nama anaknya, karena beliau termasuk dalam
salah satu ulama yang tidak menikah sampai akhir hidupnya. Sedangkan Imam An-Nawawi sendiri berpendapat bahwa adalah sunnah memiliki nama kunyah. Dan nama kunyah
tidak mesti diambil dari nama anak, bisa juga menggunakan nama hewan
dan lainnya seperti Abu Hurairah (pemilik kucing) dan lain sebagainya.
Kemudian beliau memiliki nama laqob (gelar) yang diberikan oleh kaum muslimin padanya yaitu Muhyiddin
yang artinya “orang yang menghidupkan agama”. Namun beliau sendiri
membenci gelar ini, sampai-sampai ia berkata “Aku tidak ridho orang
menggelariku Muhyiddin“. Ini menunjukkan ketidaksenangannya
dengan gelar ini sekaligus menunjukkan ketawadhuannya karena ia
menyadari bahwa di dalamnya terdapat tazkiyah (penyucian) atas dirinya, sedangkan beliau tidak suka akan hal itu. Meskipun demikian, laqob
tersebut tetap melekat dan selalu menyertai nama beliau di dalam
kitab-kitabnya dikarenakan keikhlasan beliau dalam berdakwah dan hampir
seluruh kaum muslim menerima dan mengakui keilmuwan dan dakwah beliau.
Adapun kebanyakan kaum muslimin lebih
mengenal beliau dengan nama Imam An-Nawawi. Nama An-Nawawi sendiri
adalah nisbat (penyandaran) kepada tanah kelahirannya yaitu di Nawa,
suatu perkampungan di daerah Hauran, yang berada di Damaskus, Siriya.
Beliau lahir pada awal atau pertengahan bulan Muharram tahun 631 H (1233 M) dan meninggal pada malam Rabu, 24 Rajab tahun 676 H (21 Desember 1277 M) pada usianya yang ke-45 tahun.
Beliau terlahir di tengah-tengah keluarga
yang shalih. Ayahnya bernama Syaraf, ia adalah seorang syaikh yang
zuhud dan wara’. Sejak kecil ia telah membiasakan Imam An-Nawawi untuk
menuntut ilmu.
Dikisahkan ketika berumur 7 tahun, beliau
terjaga dimalam hari pada malam ke 27 Ramadhan yang merupakan
salah-satu malam yang diperkirankan turunnya Lailatul Qadar.
Pada malam itu ia melihat seberkas cahaya yang menerangi rumahnya, ia
pun terkaget karena pada saat itu Imam An-Nawawi masih kanak-kanak dan
belum mengerti apa kejadian yang menimpanya, maka ia pun segera
membangunkan orangtuanya dan menceritakan tersebut. Sang ayah memahami
bahwa ini adalah tanda dari Allah subhanahuwa ta’ala terhadap
anaknya. Mereka pub berdoa agar Allah memberkahi anaknya. Maka sejak
kejadian inilah sang ayah memberikan perhatian yang khusus kepada Imam
An-Nawawi.
Pada usianya yang ke 10, sang ayah
memasukkan Imam Nawawi ke madrasah untuk menghafal Al-Qur’an dan
mempelajari ilmu fiqih kepada beberapa ulama di sana. Dan ia sangat
antusias untuk menghafal Al-Qur’an. Dikisahkan pada suatu hari ketika
Imam An-Nawawi berusia 10 tahun, beliau diajak bermain oleh
teman-temannya, tetapi ia menolak dan lebih memilih untuk membaca
Al-Qur’an. Namun mereka tetap saja memaksanya untuk bermain hingga
akhirnya ia pun berlari sambil menangis. Kejadian itu dilihat oleh
syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi yang kebetulan lewat, kemudian ia
mendatangi kedua orang tuanya dan memberikan nasihat agar mengkhususkan
Imam An-Nawawi untuk menuntut ilmu. Orang tuanya menerima usulan
tersebut, dan sejak kejadian itu pula perhatian sang ayah dan gurunya
pun semakin besar terhadap Imam An-Nawawi.
Pada usianya yang ke-19 tahun, sang ayah
melihat lingkungan di Nawa sudah tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan
ilmu anaknya. Maka ia memutuskan untuk membawanya ke madrasah
ar-Rawahiyyah di pojok timur Masjid Al-Jami’ al-Umawiy di Damaskus.
Ketika itu Damaskus merupakan salah satu daerah yang menjadi pusat
kajian ilmu.
Beliau sangat tekun dalam menuntut ilmu. Selama 2 tahun di sana ia
senantiasa belajar siang dan malam, sampai-sampai ia tidak tidur kecuali
karena ketiduran ketika belajar. Dan waktu-waktunya ia habiskan untuk
mendalami ilmu dan menghafal berbagai kitab.
Imam Nawawi menceritakan tentang dirinya
sendiri, ia berkata “Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku
membawaku pindah ke Damaskus pada saat beliau (ayahnya) berusia 49
tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2
tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah
karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di
Madrasah tersebut. Aku pun berhasil menghafal At-Tanbih (red: at-Tanbiih fii Furuu’isy-Syaafi’iyyah,
karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan.
Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari
kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu’) di
sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan
komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga
sangat intens dalam bermulazamah dengannya. Beliaupun lalu merasa
tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua
aktifitasku dan tidak pernah nongkrong dengan kebanyakan orang.
Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku
menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu
banyak.”
Imam An-Nawawi memiliki wawasan ilmu dan tsaqafah
yang luas. Ini dapat dilihat dari kesungguhannya dalam menimba ilmu.
Berkata salah seorang muridnya, yakni ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar, bahwa
beliau setiap hari mempelajari dua belas pelajaran baik syarahnya maupun
tashhihnya pada para syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar, satu
pelajaran muhadzdzab (sopan santun), satu pelajaran gabungan dari
dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), satu pelajaran tentang shahih
Muslim, satu pelajaran kitab Al-Lam’u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu, satu pelajaran dalam lshlahul Manthiq oleh Ibnu As-Sikiit dalam pelajaran bahasa, satu pelajaran sharaf, satu pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam ‘u oleh Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi; dan satu pelajaran tentang Asma’u Rijal, satu pelajaran Ushuluddin,
dan adalah beliau menulis semua hal yang bersangkutan dengan semua
pelajaran ini, baik mengenai penjelasan kemusykilannya maupun penjelasan
istilah serta detail bahasanya.
Imam An-Nawawi sangat tekun dan telaten dalam mudzakarah
dan belajar siang dan malam, selama sekitar dua puluh tahun hingga
mencapai puncaknya. Beliau rajin sekali dan menghafal banyak hal
sehingga mengungguli teman-temannya yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memberikan berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia
berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya
dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah
disimpulkannya.
Ia Imam An-Nawawi menuliskan dalam sebuah kitabnya: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Ketika usia beliau menginjak 30 tahun
beliau mulai aktif menulis. Beliau menuangkan pikiran-pikirannya dalam
berbagai buku dan karya ilmiah lainnya yang sangat mengagumkan. Beliau
menulis dengan bahasa yang mudah, argumentasi yang kuat, pemikiran yang
jelas, dan objektif dalam memaparkan berbagai pendapat para ahli fiqih.
Hingga sampai saat ini, karya-karya yang ditulisnya mendapatkan
perhatian yang besar dari setiap muslim dan diterima oleh setiap
kalangan di seluruh negeri islam. Buku-buku yang beliau tulis sangatlah
banyak, insya Allah akan kami sebutkan beberapa karya beliau diakhir
tulisan ini insya Allah.
Kemudian pada tahun 665 H, beliau diberi
tugas untuk menjadi guru di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah dan mengelola
bidang pendidikan. Saat itu, usianya baru menginjak 34 tahun. Dan
mengajar di sana hingga wafat.
Gaji yang diberikan Madrasah Darul Hadits
Al-Asyrafiyyah sangat besar, ia tidak pernah mengambilnya, tetapi
mengumpulkannya pada kepala madrasah. Dan apabila telah sampai setahun,
uang tersebut digunakan untuk membeli aset dan mewakafkannya untuk Darul
Hadits tempat beliau mengajar atau digunakan untuk membeli kitab dan
mewakafkannya untuk perpustakaan madrasah.
Seumur hidupnya beliau menuntut ilmu dari banyak guru, diantaranya :
Di bidang fiqih dan ushulnya
- Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi Al-Maqdisi, wafat pada 650 H
- Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi, wafat pada tahun 654 H,
- Sallar bin aI-Hasan al-Irbali al-Halabi ad-Dimasyqi, wafat pada tahun 670 H
- Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, wafat pada tahun 672 H
- Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
- Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H,
- Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H,
- Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H,
- Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H,
- Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H,
- Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H.
- Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, wafat pada tahun 664 H,
- al-’Izz al-Maliki, salah seorang ulama bahasa dari madzhab imam malik.
Adapun murid-murid beliau yang melalui
didikannya bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman
bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim
bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih
dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal
dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin
an–Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.
Para penulis biografi sepakat bahwa Imam
an-Nawawi adalah seorang pemimpin dalam bidang zuhud, panutan dalam hal
wara’, orang yang selalu memberikan pandagan yang bijak di bidang hukum,
orang yang bersungguh-sunguh dalam menyuruh kepada kebaikan dan
mencegah kemungkaran serta beliau senantiasa memberi nasihat kepada
penguasa. Beliapun termasuk orang yang senantiasa beribadah di siang dan
malamnya. Berikut adalah beberapa sifat dan akhlak beliau yang mulia :
1. Zuhud
Imam An-Nawawi tidak terlenana dengan
kenikmatan dunia, sikap ini dapat terlihat dari sikap beliau yang
menolak untuk diberi gaji, karena bagi beliau puncak kenikmatan adalah
melalui ilmu yang dipelajarinya.
Beliau menulis dalam Muqadimah Syarh Al-Muhadzdzab -dan ini adalah pesan emas bagi para penuntut ilmu-, “Ketahuilah,
apa-apa yang kami sebutkan terkait dengan keutamaan menimba ilmu,
sesungguhnya itu semua hanya diperuntukkan bagi orang yang
mempelajarinya karena menginginkan wajah Allah ta’ala (ikhlas), bukan
karena motivasi duniawi. Barangsiapa yang belajar karena dorongan dunia
seperti; harta, kepemimpinan, jabatan, kedudukan, popularitas, atau
supaya orang-orang cenderung kepadanya, atau untuk mengalahkan lawan
debat dan tujuan semacamnya maka hal itu adalah tercela.”
Selain itu yang menarik perhatian adalah
bahwa beliau pindah dari sebuah perkampungan sederhana menuju kota
Damaskus yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan, sedangkan ketika
itu usia beliau masih sangat muda dan dalam kondisi fisik yang masih
kuat. Meskipun demikian, beliau tidak pernah berpaling untuk
memperhatikan semua kesenangan dan syahwat tersebut. Beliau justru
membenamkan diri dalam kesungguhan dan kehidupan yang sederhana.
2. Wara’.
Dalam kehidupannya banyak yang
menggambarkan kewaraannya. Dan di antaranya adalah beliau tidak mau
memakan sayuran yang berasal dari damaskus. Ketika ditanya tentang hal
itu, beliau menjawab “Karena di sana banyak tanah wakaf dan kepemilikan
yang dikelola oleh orang yang seharusnya dilarang melakukan
pengelolaan.” Sedangkan untuk kasus itu, tanah tersebut tidak boleh
dikelola kecuali untuk maslahat umum, dan kerja sama yang ada haruslah
dalam bentuk kontrak kerja sama dengan sistem masaqat. Dan dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat. Dan karena sifat wara’nya, beliau tidak mau memakan sayuran tersebut.
3. Seorang Alim Penasihat
Dalam diri Imam Nawawi tercermin
sifat-sifat alim, suka memberi nasihat, seorang yang berjihad di jalan
Allah dengan lisannya, menegakkan kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar.
Seorang yang mukhlish dalam memberi nasihat, tidak mempunyai tendensi
apapun, seorang yang pemberani, tidak takut celaan di jalan Allah
terhadap orang yang mencelanya. Seorang yang mempunyai bayan dan hujjah
untuk memperkuat dakwaannya.
Beliau dijadikan rujukan oleh manusia
bila mereka menghadapi perkara yang sulit dan pelik, serta minta fatwa
kepadanya. Dan beliau menanggapinya serta berusaha memecahkan
permasalahannya, seperti ketika berkenaan dengan hukum penyitaan atas
dua taman di Syam; ketika Damaskus kedatangan penguasa dari Mesir, dari
Raja Bibiris, setelah mereka dapat mengusir pasukan Tartar, maka wakil
(pejabat) baitul maal menyangka bahwa kebanyakan dari taman-taman yang
berada di Syam tersebut adalah milik negara. Maka sang raja
memerintahkan untuk memagarinya, yakni menyitanya.
Maka orang-orang melaporkan hal itu
kepada Imam An-Nawawi di Daarul Hadits. Kemudian beliau menulis surat
kepada sang penguasa yang dinyatakan di dalamnya sebagai berikut:
“Kaum muslimin merasa dirugikan atas
adanya penyitaan hak milik mereka, oleh karena itu mereka menuntut
supaya hak milik mereka dikembalikan. Dan penyitaan ini tidak dihalalkan
oleh seorang ulama’ pun dari kalangan kaum muslimin. Karena barangsiapa
yang di tangannya sesuatu maka dialah pemiliknya, tidak boleh seorang
pun merampasnya dan tidak dibenarkan menjadikannya sebagai status
miliknya.”
Maka marahlah sang penguasa tersebut
terhadap nasihat yang ditujukan kepadanya itu, lalu ia memerintahkan
supaya gaji syaikh itu dihentikan dan dicopot dari jabatannya. Akan
tetapi orang-orang menyatakan bahwa syaikh itu tidak mendapat gaji dan
tidak pula mempunyai jabatan. Akhirnya ketika penguasa itu memandang
bahwa tidak bermanfaat lagi surat-menyurat, maka ia pergi sendiri untuk
menemui Imam An-Nawawi dan hendak mengumpatnya habis-habisan dan ia
ingin mengamuknya. Akan tetapi Allah memalingkan hati penguasa itu dari
berbuat yang demikian itu dan melindungi Imam An-Nawawi dari hal semacam
itu. Bahkan sang penguasa itu kemudian mencabut penyitaan dan manusia
pun dilepaskan Allah dari kejahatannya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan tentangnya, “Beliau adalah syaikhul madzhab (maksudnya guru
besar dalam madzhab Syafi’i) dan ahli fikih besar di masanya.” Al-Hafizh
Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah ahli
fatwa umat ini, syaikhul islam, seorang Hafizh (penghafal hadits) yang
cemerlang, salah seorang imam besar dan pemimpin para wali.”
Adz-Dzahabi rahimahullah
mengatakan tentangnya, “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup
sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang
bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi
maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti
berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan
beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian
yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak.”
Abul Abbas bin Faraj rahimahullah
mengatakan tentangnya, “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3
tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk
meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang
dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan
ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi
munkar.”
Ibnul Aththar rahimahullah
mengatakan tentangnya, “Guru kami An Nawawi disamping selalu
bermujahadah, wara’, muraqabah, dan mensucikan jiwanya, beliau adalah
seorang yang hafidz terhadap hadits, bidang – bidangnya, rijalnya, dan
ma’rifat shahih dan dha’ifnya, beliau juga seorang imam dalam madzhab
fiqh.”
Ibnul Aththar rahimahulah juga
berkata, “Guru kami An Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak
pernah sama sekali menyia – nyiakan waktu , tidak di waktu malam atau di
waktu siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan
manghafal.”
Quthbuddin Al Yuniny rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah teladan zamannya dalam ilmu, wara’, ibadah, dan zuhud.”
Syamsuddin bin Fakhruddin Al Hanbaly rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah seorang imam yang menonjol, hafidz yang mutqin, sangat wara’ dan zuhud.”
Rasyid bin Mu’aliim rahimahullah
mengatakan tentangnya, “Syaikh Muhyiddin An Nawawi sangat jarang masuk
kamar kecil, sangat sedikit makan dan minumya, sangat takut mendapat
penyakit yang menghalangi kesibukannya, sangat menghindari buah – buahan
dan mentimun karena takut membasahkan jasadnya dan membawa tidur,
beliau sehari semalam makan sekali dan minum seteguk air di waktu
sahur.”
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke
kampung halaman-nya di Nawa. Sebelumnya mengembalikan berbagai kitab
yang dipinjamnya dari sebuah badan waqaf, dan menziarahi makam para
guru beliau juga bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih
hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina
melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu
bertanya: “Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau
menjawab: “Sesudah 200 tahun.” Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau
maksud adalah sesudah hari kiamat.
Beliau berziarah ke makam orang tuanya,
Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim) ‘Alaihissalam. Setelah itu
barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa)
beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat pada malam Rabu tanggal 24
Rajab (tahun 676 H.). Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke
Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian
beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan sosok Imam
An-Nawawi. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama
para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk
menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang
atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang
luas kepada beliau dan membangkitkan beliau kelak bersama mereka yang
telah dikaruniai nikmat yang besar yakni dari kalangan para Nabi,
Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin.
Berikut adalah beberapa kitab yang beliau tulis :
Dalam Bidang Fiqh
1. Al-Majmu’
Kitab ini merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Al-Muhadzdzab
karya Abu Ishaq As-Syirozi. Banyak ulama mengakui dan memuji kitab ini,
namun sayangnya kitab ini belum sempat beliau selesaikan, hanya sampai
pada penjelasan kitab riba pada jilid ke 9. Namu kitab ini kemudian
diteruskan oleh As-Subki sebanyak 3 jilid dan kemudian dilengkapi oleh
Sayyid Muhammad Najib Al-Muthi’i
2. Raudhatuth Thalibin
Kitab ini tergolong kitab-kitab besar
yang terdiri dari 12 Jilid. Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum
As-Syarhul Kabir (karya Imam Rafi’ asy-Syafi’i) berikut penjelasan
cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi
berbagai cabang permasalahan yang semula berserakan di sana sini:
Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih,
referensi para cerdik pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para
tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer.
3. Al-Minhaj
Kitab ini adalah mukhtashar
(ringkasan) dari kitab Muharrar, karya Imam Rafi’ Asy-Syafi’i. Kitab
ini sangat mashyur (terkenal) dan dijadikan sebagai sandaran dalam
mempelajari madzhab Syafi’i.
4. Al-Fatawa
Kitab ini merupakan kumpulan berbagai
persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu
disusun secara tematis oleh murid beliau Syaikh ‘Alauddin Al-’Aththar
dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari
beliau.
Dalam Bidang Hadits1. Syarah Shahih Bukhari
Kitab tidak sempat beliau selesaikan dan baru beliau tulis sebanyak 1 jilid.
2. Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim
Kitab ini adalah kitab syarah Shahih
Muslim yang paling besar dan terkenal. Kitab ini terdiri dari 9 jilid
dan termasuk karya terakhir beliau.
3. Syaarah Sunnan Abu DawudKitab ini juga tidak selesai.
4. Arba’in An-Nawawi
Kitab ini adalah kitab hadits yang banyak
dirokemendasikan oleh ulama, karena di dalamnya termuat berbagai hadits
seputar dasar-dasar agama islam yang sangat penting untuk dipelajari,
seperti tentang iman, islam, ihsan dan lain sebagainya.
5. Riyadhush Shalihih.
Ini adalah salah satu kitab beliau yang
paling terkenal di kalangan kaum muslimin, hampir di setiap
masjid-masjid di negeri kaum muslimin kita akan dapati kitab ini.
6. At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin NadzirDalam Bidang Biografi dan Bahasa Arab
1. Tahdzibul Asma’ wal Lughat
Di dalamnya beliau menulis sejumlah
biografi singkat dari ulama-ulama baik laki-laki maupun wanita yang
disebutkan di dalam kitab Mukhtasor al-Muzzani, Al-Muhadzdzab,
At-Tanbih, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Selain itu juga menjelaskan tentang
bahasa Arab. Kitab ini mendapat pujian daro beberapa ulama.
2. Thabiqat Asy-Syafi’iyyahKitab ini menjelaskan tentang biografi ulama-ulama syafi’i.
3. Manaqib Asy-Syafi’i
Kitab ini menjelaskan mengenai kedudukan dan keutaman Imam Asy-Syafi’i rahimahullah serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
Dalam Bidang Akhlak1. At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an
Kitab ini membahasa mengenai adab-adab bagi penghafal Al-Qur’an.
2. Bustanul Arifin
3. Al-Adzkar
Dan masih banyak kitab beliau yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Komentar
Posting Komentar