Karomah Syaikhona Kholil Bangkalan
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni
guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di
Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang
dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar
seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti
mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul
Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak
pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Tertawa Keras didalam Sholat
Pada suatu hari, didalam sholat jemaah yang dipimpin oleh
kyai disebuah pesantren tempat kyai Kholil mencari ilmu, Kyai Kholil
muda tertawa cukup keras sehingga teman-temannya takut kalau-kalau kyai
akan marah karna sikapnya itu.
Dugaan mereka tidak keliru,setelah selesai sholat sang
kyai menegur Kyai Kholil muda dengan sikapnya yang tertawa cukup keras
waktu solat tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata, Kyai
Kholil muda masih terus tertawa meskipun kyai sangat marah terhadapnya.
Akhirnya Kyai Kholil menjawab bahwa ketika sholat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah berkat
(wadah nasi waktu kenduri) diatas kepala sang Kyai. Mendengar jawaban
tersebut, sang kyai menjadi sadar dan merasa malu atas sholat yang ia
pimpin tersebut. Karena sang kyai ingat bahwa selama sholat berlangsung,
dia memang merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri sehingga
mengakibatkan solatnya tidak khusyuk.
2. Debat kepiting dan Rajungan
Pada suatu hari, para ulama Mekah berkumpul di Masjidil Haram
untuk berdiskusi membahas masalah dan hukum Islam yang sedang terjadi di
Makah. Semua persoalan didiskusikan tanpa hambatan dan selalu
mendapatkan solusi dan kesepakatan semua Ulama tersebut. Akan tetapi
pada masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan terjadi
banyak pendapat dan tidak menemukan solusi.
Kyai Kholil pada waktu itu berada diantara peserta diskusi
sambil mendengarkan dengan tekun sambil sekali-sekali tersenyum melihat
silang pendapat para peserta diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan
yang ada dihadapnya, Kyai Kholil minta izin untuk menawarkan solusi
untuk masalah tersebut. Akhirnya Kyai Kholil dipersilahkan untuk naik ke
atas mimbar oleh pimpinan diskusi.
Setelah tiba diatas mimbar, Kyai Kholil berkata, “ Saudara
sekalian, ketidaksepakatan kita dalam menentukan hukum kepiting dan
rajungan ini menurut saya disebabkan karena saudara sekalian belum
melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan” ujar kyai Kholil.
Semua ulama yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui keterangan kyai
Kholil tersebut.
“ saudara sekalian, adapun wujud kepiting seperti ini” ucap
kyai Kholil sambil memegang kepiting yang masih basah. “sedangkan yang
rajungan seperti ini” lanjut Kyai Kholil sambil memegang rajungan yang
masih basah, seakan baru mengambil dari laut. Semua hadirin merasa
terpana dan suasana menjadi gaduh karna keanehan tersebut. Mereka hanya
bisa merasa heran dan bingung dari mana sang Kyai Kholil
mendapatkankepiting dan rajungan dengan sekejap saja. Maka setelah
kejadian tersebut, masalah halal atau haramnya kepiting dan rajungan
telah menemukan solusinya. Sejak kejadian itu, Kyai Kholil menjadi ulama
yg disegani di antara ulama Masjidil Haram.
3. Ke Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yg dapat mengapung di air)
Pada suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kyai Kholol
hanya ditemani oleh Kyai Syamsul Arifin, salah seorang murid dan
sahabatnya. Mereka membicarakan perihal urusan pesantren dan persoalan
umat, tak terasa waktu sudah berlangsung lama dan matahari hampir
terbenam.
“ kita belum solat Ashar kyai” kata Kyai Syamsul Arifin.
“ Astaghfirullah ” kata kyai Kholil menyadari
Kekhilafannya. “ waktu ashar hampir habis, kita tidak mungkin sholat
secara sempurna Kyai” ucap Kyai syamsul Arifin.
“ kalau begitu, ambil kerocok untuk kita pakai ke Makkah ” kata Kyai Kholil. Setelah mendapatkan kerocok, mereka menumpanginya di atas kerocok tersebut. Beberapa saat ketika Kyai Kholil menatap ke Makkah, tiba-tiba kerocok
yang ditumpanginya melesat dengan cepat ke arah Makkah. Sesampainya ke
Makkah, Azan solat ashar baru saja dikumandangkan dan mereka mendapatkan
Shaf pertama sholat Ashar berjamaah di Masjidil Haram.
4. Mengubah Arah Kiblat Masjid
Pada suatu hari, Kyai Kholil sedang melihat masjid yang
sedang dibangun oleh menantu beliau yaitu Kyai Muntaha. Ketika melihat
arah kiblat pada masjid tersebut, Kyai Kholil menegur sang menantu yang
alim itu untuk membetulkan arah kiblat masjid yang sedang dibangunnya
itu. Sebagai orang yg alim, Kyai Muntaha mempunyai alasan dalam
menentukan arah kiblat tersebut, beberapa argumen ditunjukan kepada Kyai
Kholil dalam penentuan arah kiblat tersebut.
Melihat menantunya tidak ada tanda-tanda untuk mendengar nasihatnya,
Kyai Kholil tersenyum sambil berjalan kearah tempat pengimaman di ikuti
sang menantu. Kyai Kholil mengambil sebuah kayu untuk melubangi dinding
tembok arah kiblat dan menyuruh Kyai Muntaha untuk melihat lubang pada
dinding masjid di tempat pengimaman. Betapa kagetnya Kyai Muntaha
setelah melihat lubang itu, sang menantu melihat dalam lubang kecil itu
terlihat Ka’bah yang berada di Makkah dengan sangat jelas. Dengan
penglihatan itu, Kyai Muntaha heran dan sadar bahwa arah kiblat yang
menjadi kiblat bangunan masjidnya salah. Arah kiblat bangunan masjid
terlalu miring dan terbukti benar apa yang di koreksi Kyai Kholil.
5. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri.
Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada
peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan
sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang
nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi
pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang
dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan
itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman
ini.
6. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari
Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru
Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.
Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia
sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh.
Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan
penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk
berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong
karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi
bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan
sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah
Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang
seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan
langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus
mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka
sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke
makam beliau.
7. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh.
Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu
peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi.
Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil.
Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut
sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu
kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling,
kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon
penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat
“qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah
Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’
ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani
pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban
penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa
duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan,
namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat
pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan
wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke
badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan
para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di
ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman
dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren
berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran
timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren
dipenuhi dengan timun.
8. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya
angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan
bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan
memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun
mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama,
toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai
ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa
yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki
datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada
Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!”
Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah
dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu
kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup
pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan
ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai
awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini
bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan
sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil.
Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya,
Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali,
saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami
sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh.
Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa
terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang
berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa
yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar
kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera
ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum
penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang
dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat
sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya
dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang
sangat luar biasa.
9. Kyai Kholil dipenjara oleh Penjajah
Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan
perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam
bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi
pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya
pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di
antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara
terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi
kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak
keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan
harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil,
malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang
tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan
diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan
memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut
ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.
10. Kyai kholil berguru ke kyai pasuruan
Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada
seorang kiai yang sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil
muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu
itu begitu menggebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang
begitu jauh dari Bangkalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa
tidak dianggapnya sebagai rintangan berarti, meski harus berjalan kaki.
Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan,
tempat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah
wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda.
Habislah harapannya untuk mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai
yang mempunyai ilmu tinggi tersebut.
Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari
berikutnya Kholil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara
Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang
ke-41, ketika Kholil tengah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir
dalam mimpinya.
Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk
belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu,
maka peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah
hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pesantren itu. Subhanallah.
11. Melindungi calon santrinya dari musibah
Pada kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon
santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bangkalan, sementara si
calon santri di tengah Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia
berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju
Bangkalan, Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak
membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana
untuk tidur, parang, serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi
sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang,
Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani
merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak
belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Namun yang
lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu.
Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya
kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari
tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena
tampangnya biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang
itu kemudian bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu
terlalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu
dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut
ke mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan
mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang
kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara mereka,
menjawab, “Kalau barang-barang kami diambil, kami tidak bisa
melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang
itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami
mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa.
Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama
Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka
gembira karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset.
“Kalau begitu, serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu.
“Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang
membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut
seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh,
lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke
mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari
hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak
ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum
pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan
aku rampok, dan menjual kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli
kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri
saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru
saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke
Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren
Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren
tersebut.
12. Kedatangan macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil
santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat
penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga,
sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh
Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu,
segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan
memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi
hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu
belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren
pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil
menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai
malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada
macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru
Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan
Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa
yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang
baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan
lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke
Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk
datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung
disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu,
yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah
kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang
dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda
itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai
santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak
kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat,
pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh
Kholil.
13. Santri yang tidak ikut jamaah
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri
bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu
tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat
subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub.
Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami
kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri
gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil
membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri
kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat
berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud
santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi
bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah,
Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ;
Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada
menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu
siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah
Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil
menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu
tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua
rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai
Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan
tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan
suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan
memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya
diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar
dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi
yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali
lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil.
Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh
makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai
Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap
santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung
halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat
mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang
memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu
bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang
diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
14. Kedatangan habib
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil
mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab.
Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai
orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai
Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang
fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai
sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan
munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di
sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan
yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah
dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar
kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu,
macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa
sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa
suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan
sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
15. Berselisih
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan
seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki
yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah
mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik
temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi
Kholil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu
sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushola sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya
Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut
kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak
perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin
ataukah maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya
ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada
Tafsir Thabari.
16. Didatangi tamu
Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia.
Pada suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin
sekali sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu
bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh
kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,”
jawab isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa.
Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami
meyakinkan isterinya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan
berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai
Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis
talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu.
Mereka disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya
sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami
rada malu-malu.
“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil
menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan
menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama
setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai
Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu
dimakannya sampai habis.
Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa
yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari
kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih
segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini,
tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul
sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak
seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu
juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima
oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.
Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan
selama ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan
semata-mata karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan
yang kedua tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini
atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh
kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.
17. Hanya disuruh perbanyak baca istighfar
Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara
bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada
keperluan apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah
rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil
menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca
istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu
kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18
tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu
kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika
kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.
Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya,
“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari
hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu
yang ketiga, dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan
mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada
tamu yang terakhir.
Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran.
Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama,
yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.
Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang,
maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai
Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.
Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu
memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca
istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya
semuanya berhasil apa yang dihajatkan.
#Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran
dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan
Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda
menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi
puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat
tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala
dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli
Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam
Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata hati
mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.